Nak, Apa Kau Benar-Benar Ingin Kuliah? Ayah Ibumu Tak Mampu Membiayaimu

Gambar Ilustrasi : www.fotografindo.com


Awalnya kami tak pernah berpikir untuk bisa duduk di bangku perguruan tinggi. Tak terbersit di pikiran kami kala kami masih kecil, bahwa kami saat ini bisa merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Serasa dulunya itu sangatlah mustahil bagi kami. Hal itu karena kami sadar bahwa orang tua kami tak akan mampu membiayai kami untuk kuliah.

Bahkan sebagian dari kami, bisa duduk di bangku SMA sudah itu pun sudah suatu yang
sangat luar biasa.  Namun ternyata Allah berkendak lain, kami dijadikannya bisa ikut merasakan luasnya pengetahuan lewat perkuliahan. Kami bisa kuliah karena adanya beasiswa yang diberikan untuk kami.

Mungkin ceritanya berawal dari SMA, kala kami mulai dikenalkan oleh guru-guru kami tentang berbagai perguruan tinggi. Cerita-cerita tentang kuliah yang begitu hebat menurut kami pada saat itu. Sejak saat itu mulailah tergambar di fikiran kami untuk kuliah. Namun disisi lain, logika kami juga protes pada diri kami sendiri.

“Mana mungkin kamu bisa kuliah, lihat kondisi orang tuamu? Sadar diri saja! emang siapa yang bisa membiayai kuliahmu? Dasar nggak tahu diri!!!”.

Pikiran seperti itu seolah membenamkan mimpi kami untuk bisa kuliah. Ah rasanya memang mustahil, memang takdir kami mungkin tak akan bisa kuliah. Kami pun merasa iri ketika melihat teman-teman kami dari keluarga yang mampu, mereka yang mulai terlihat mendaftar kuliah disana-sini.

Dimana mereka berkumpul, maka mereka begitu asyiknya membicarakan rencana-rencana mereka tanpa beban. Sedangkan kami hanya bisa diam mendengarkan sambil menahan hangatnya mata kami yang mulai berkaca-kaca.

“Ah, Ya Allah apakah memang aku hanya bisa berharap semata? Andai orang tuaku bisa menguliahkanku.”  

Hingga kami sering berandai-andai yang terlalu jauh, namun kami sadar itu justru membuat kami semakin bersedih.

“Nak, apa kau benar-benar ingin kuliah? Ayah Ibumu tak mampu membiayaimu, kami masih punya tanggungan adik-adikmu yang masih sekolah juga. Maafkan kami yang tak mampu mewujudkan keinginanmu”.

Mendengar kalimat itu keluar dari orang tua kami, rasanya lubuk hati kami benar-benar merasa bersalah juga karena mengutarakan cita-cita kami. Sering kali kami tak bisa berkata lagi saat itu, hanya air mata yang mengalir tanpa tertahan di pipi kami. Mungkin pelukan orang tua kami yang akhirnya menenangkan hati kami.

Ternyata dimana ada niat disitulah ada jalan. Kami mulai mendengar informasi-informasi tentang adanya beasiswa. Oh saat itu betapa riangnya hati kami mendengarnya. Seolah ada kesempatan bagi kami tuk kuliah. Kami pun mulai ikut mendaftar, walau syaratnya memang begitu banyak dan berat juga. Namun kami tetap berusaha, mungkin inilah jalan yang disediakan bagi kami untuk bisa seperti teman-teman kami.

Seleksi pun kami ikuti, ternyata tak mudah mengejar beasiswa itu. Sungguh terlalu sangat banyak pemuda-pemudi seperti kami yang memperjuangkannya. Namun kuotanya yang tak banyak, membuat hanya sebagian kecil dari kami yang lolos. Kami pun terus berjuang, berkali-kali gagal seleksi terasa semakin menciutkan nyali kami untuk tetap bertahan.

“Apakah memang mustahil bagiku untuk bisa kuliah Ya Allah? Apakah perjuangan ini tak akan membuahkan hasil.”

Pertanyaan itu sering kali terbersit dalam lamunan kami. Hingga akhirnya senyum kami pun bisa merekah pelan, disambut dengan air mata kebahagiaan karena sebuah pengumuman yang menyatakan kami telah lolos. Betapa bahagianya kami pada saat itu. Kami akhirnya menjadi seorang mahasiswa berbeasiswa. Mungkin dengan itu kami tak akan memberatkan orang tua kami.

Kuliahpun berlangsung, kadang kami pun seolah tak percaya bahwa kami telah kuliah. Bagaimana bisa kami seseorang yang dari keluarga yang rata-rata anak petani keciil, buruh, pedagang lapak dan sejenisnya bisa kuliah. Mungkin cita-cita dan keteguhan doa usaha membuat kami diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bisa kuliah. Serta doa orang tua kami yang penuh keajaiban telah membuat cita-cita kami dikabulkan Tuhan.

Ternyata beasiswa yang diberikan pun tak mampu menutup semua biaya perkuliah kami. Terpaksa kami memenuhinya dengan berbagai kerjaan, entah sambil berusaha jualan makanan di kampus, berjualan pulsa, ikut mengajar di sebuah bimbel atau pada malam hari kami meluangkan waktu untuk berkerja di sebuah rumah makan sekitar kampus.

Tak mungkin kami harus membebani orang tua kami di rumah, walau sesekali orang tua kami sering menawarkan bantuannya walau sedikit. Mereka merasa ingin membantu kami dibalik kebutuhan mereka yang belum tentu juga sudah terpenuhi.

Satu dua kali pun kami terpaksa menerima pemberian mereka karena kami sudah tak punya bekal di kampus. Saat-saat seperti itu pun melahirkan janji di hati kami sendiri. Sering kali air mata ikut menetes saat mengucapkannya.

“Aku berjanji ayah ibu, aku akan membahagiakan kalian suatu saat nanti. Aku berjanji!!! Maafkan anakmu ini yang masih merepotkan.”

Semangat kami untuk kuliah mungkin lebih dibandingkan teman-teman kami yang lain. Walau banyak juga teman kami non beasiswa yang prestasinya lebih dari kami. Kami mulai berani bercita-cita lebih tinggi, walau cita-cita kami tak langsung berharap menjadi sosok yang akan merubah negeri ini dengan seketika dari segala kekacauan yang ada. Namun dengan bisa kuliah, muncul harapan di hati kami.

Mungkin kami bisa mengubah kondisi perekonomian orang tua kami, itulah yang pertama terpikirkan di hati kami. Selanjutnya, semenjak kuliah kami pun jadi berani ikut memikirkan negeri ini. Mungkin ada hal yang bisa kami lakukan agar bisa bermanfaat untuk negeri Indonesia tercinta ini.

Kami selalu berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban kami sebagai penerima beasiswa. Sungguh terlalu banyak kegiatan yang diwajibkan bagi kami. Dari seminar, worksop, pelatihan atau berbagai upacara hari-hari besar, sering kali kami lah yang jadi pengisi kursi yang paling depan.

Kadang kami pun merasa lelah, belum lagi tugas-tugas kuliah yang harus kami kerjakan dengan baik demi menjaga indeks prestasi yang menjadi kewajiban kami pula. Namun dari itu semua, justru kami menjadi terbiasa membagi waktu dengan baik. Kami pun menjadi mahasiswa yang banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dari berbagai kegiatan itu.

Kami kadang heran dengan teman-teman kami yang lain, ada diantara mereka yang berkata pada kami seolah menghardik kami.

“Kamu enak, kuliah tanpa mengeluarkan biaya. Enak sekali, kamu kuliah dibiayai tanpa mengeluarkan uang sepeserpun!!!”.

Oh rasanya kalimat itu benar-benar menyayat hati kami. Kami pun seolah tak punya jawaban untuk hal itu. Seolah kalimat itu membungkam diri kami tuk bicara. Kami mengerti bahwa kami memang dibiayai, disaat itu juga kami merasa memang bukan dari keluarga yang berada.

Andai disuruh memilih pun tentu kami akan memilih menjadi keluarga yang bisa membiayai kuliah kami sendiri. Entahlah, andai mereka yang seperti itu mengerti bahwa kami telah melewati banyak kesabaran dalam memperjuangkan tuk bisa kuliah.

Itulah sedikit cerita tentang kami, mahasiswa yang bisa mengenyam perkuliahan karena mendapat beasiswa. Dari cerita singkat itu kami pun mengerti bahwa dibalik segala keterbatasan yang ada, tenyata Allah memberikan jalan kepada hambanya.

Ya, setiap orang punya harapan. Setiap orang punya kesempatan, dan yang jelas setiap orang berhak bermimpi. Maka bagimu yang sedang berjuang, beranilah bermimipi. Karena dengan bermimpi, kau menjadi hidup dalam hidupmu.

0 Response to "Nak, Apa Kau Benar-Benar Ingin Kuliah? Ayah Ibumu Tak Mampu Membiayaimu"

Post a Comment

BERLANGGANAN GRATIS VIA EMAIL

Dapatkan Artikel Terbaru Dari AJP Creations Melalui Email Anda. Jangan lupa cek kotak masuk di emailnya untuk mengaktifkan fitur pengiriman, setelah klik berlangganan di bawah ini.